Handoyo Kusuma

Nama mahasiswa tersebut, Handoyo Kusuma. Handoyo adalah nama ayahnya. Sedangkan Kusuma adalah nama ibunya. Handoyo diberi nama seperti itu karena orang tuanya hanya memiliki anak sejumlah biji mata wayang kulit, yaitu satu, Handoyo seorang. Handoyo diberi nama seperti itu dengan harapan akan mewariskan kehidupan ayah ibunya.

Handoyo sedang beristirahat di kamar. Dia berbaring karena sedang sangat lelah. Tadi siang teman-temannya berkumpul di kamar kosannya itu untuk mendiskusikan tugas kuliah dan proyek. Hari sudah larut malam. Hujan di luar sudah reda sejak sejam yang lalu. Udara tampak berkabut dan dingin akibat hujan. Handoyo berbaring diam di kamar. Namun, sebenarnya dia sangat takut.

Handoyo sedang merasa takut. Handoyo bukan takut karena sendirian di kamar. Handoyo juga bukan takut karena kamarnya gelap gulita. Handoyo takut karena lampu kamarnya berkedip-kedip perlahan. Tidak. Sebenarnya bukan itu. Handoyo takut, karena sesungguhnya aliran listrik di daerah situ padam sejak sejam yang lalu.

Handoyo tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Akhirnya dia memutuskan untuk mengambil jaket kesayangannya dan pergi ke luar untuk menenggak secangkir kopi di warung terdekat. Handoyo pun pergi ke luar. Udara dingin cukup menusuk, namun itu lebih baik daripada tinggal di kamar. Jalanan masih agak gelap, namun bulan purnama cukup terang menyinari sosok warga yang lalu lalang. Handoyo pun melangkah menuju warung kopi Henrietta.

Handoyo agak kaget saat dia sampai di Henrietta. Sosok Syarif Ghifar terlihat dari dalam Henrietta. Dia duduk termenung menatap tembok. Suara TV di pojok tidak dia hiraukan sama sekali. Handoyo memutuskan untuk duduk di samping Syarif Ghifar, dan perlahan duduk sembari menyapa.

“Far, katanya pulang tadi?” Handoyo menyapa pelan. Namun Ghifar tersentak kaget melihat sosok Handoyo di sampingnya.

“Eh, kirain siapa. Saya baru 15 menit di sini.” Ghifar menjawab tanpa fokus. Handoyo agak bingung melihat Ghifar sangat pucat pasi. Mukanya sudah hampir sewarna dengan tembok yang dia tatap. Handoyo mengalihkan pandangannya ke daftar menu.

“Bang, pesan capuccino dingin 1.” Handoyo memanggil Bang Joni, pegawai warung kopi Henrietta yang selalu cemberut. Namun, bisa jadi Bang Joni selalu terlihat cemberut karena kumisnya menutupi seluruh bibirnya, sehingga senyumannya agak sulit dilihat.

Selama 10 menit Handoyo dan Ghifar terdiam. Handoyo merasa aneh. Sebab, Ghifar tidak biasanya murung seperti ini. Setelah Bang Joni mengantarkan capuccino dengan 3 balok es ukuran 2x2x2 cm ke hadapan Handoyo. Dia memberanikan diri bertanya lagi.

“Kamu kenapa sih? Pucat banget kayak habis liat setan?”

“Emang.” Ghifar menimpali sekenanya.

“Kenapa? Cerita-cerita makanya kalo ada masalah. Tadi bilangnya pulang, kenapa balik lagi ke sini?”

“Ah sudahlah, tadi saya dapat kejutan. Sedang tidak mau membicarakan itu.”

Handoyo menghela nafas. Dia bingung tidak tahu harus bersikap. Apakah Ghifar sedang punya masalah keluarga sehingga sedemikian murung? Handoyo memang agak kebingungan dengan temannya yang satu ini. Dia pun bangkit dan berjalan ke Bending, kependekan dari Berita Dinding. Di warung kopi ini, ada papan cukup besar, sekitar 1×2 meter. Di papan ini, Henrietta memasang berbagai macam pamflet dari kampus dan sekitarnya sebagai. Papan ini berguna sebagai cuplikan pamflet berisi info-info kampus ataupun informasi berguna lainnya. Sebagai contoh, Handoyo pernah menjual buku-buku tahun pertamanya dengan memasang secarik iklan di Bending.

Di Bending, ada info yang cukup menarik untuk mengubah suasana hati Syarif Ghifar.

“Far, ada pentas drama di aula timur minggu depan.”

Ghifar membalikkan badan. Handoyo merasa Ghifar akhirnya tertarik.

“Gimana? Mau nonton engga? Daripada bengong di kosan? Tiketnya 25 ribu rupiah”

“Drama apaan, Han?”

“Kisah Malin Kundang katanya. Unit teater yang ngadain.”

“Boleh deh.”

“Ya udah, kalo gitu besok habis kuliah kita beli tiketnya.”

Handoyo tersenyum. Kepucatan di wajah Ghifar berangsur-angsur menghilang. Handoyo kemudian duduk lagi untuk menghabiskan kopinya. Setengah jam kemudian aliran listrik sudah menyala lagi. Handoyo mengucapkan salam pada Ghifar setelah membayar pada Bang Joni. Handoyo sudah lelah dan memutuskan untuk pergi duluan ke kosannya. Setibanya di kosan, Handoyo melepaskan jaketnya dan memperhatikan lagi lampu yang masih berkedap-kedip. Handoyo berpikir, lampunya mungkin kedap-kedip karena induksi dan kurang baik terpasang. Akhirnya, Handoyo mengambil kursi dan mencabut lampu tersebut, kemudian ia letakan di atas meja bersama dengan tumpukkan buku.

Handoyo kemudian bersiap untuk tidur dan berbaring. Handoyo sudah lelah. Dia berusaha memejamkan mata dan menghadap tembok. Dia ingin tidur dengan nyenyak. Sebab ternyata lampu tersebut masih berkedap-kedip di atas meja.

1 thought on “Handoyo Kusuma

Leave a comment